Notulensi ceramah Dr. Bima Arya Sugiarto dalam Rotary Regular Meeting di Wisma Joglo,
Sabtu, 22 November 2008, pk. 13.30-14.30
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LEAD Institute, pimpinan Dr. Bima Arya Sugiarto, terdapat sejumlah fenomena menarik yang patut dicermati menjelang Pemilu 2009. Apa boleh buat, kemenangan Barack Obama sebagai presiden Afro-Amerika pertama di Amerika Serikat menimbulkan eforia yang menyebar sampai ke Indonesia. Berhubung banyak orang di Indonesia menganggap bahwa Indonesia punya keterkaitan emosional dengan Barack Obama (yang pernah bersekolah di SD Menteng), maka kemenangan Obama pun memunculkan pertanyaan: mampukah Indonesia melahirkan pemimpin sekualitas Barack Obama? Dr. Bima Arya Sugiarto menganalisisnya dari empat modal politik, yaitu kualitas individu, sistem politik yang mapan, situasi yang kondusif (momentum) dan networking.
Pertama, kualitas individu. Siapapun tahu bahwa seorang Barack Obama memiliki kecerdasan dan leadership yang prima. Ia mampu meyakinkan orang bahwa dirinya patut memimpin Amerika untuk mencapai perubahan. Sebenarnya, banyak orang di Indonesia juga memiliki kualitas semacam itu. Sayangnya, keputusan untuk memasuki dunia politik dibuat pada usia yang relatif tidak muda lagi. Yuddy Chrisnandi, politisi yang digolongkan muda dalam Partai Golkar, saat ini sudah berusia 44 tahun. Bandingkan dengan Obama yang berusia 47 tahun ketika menjadi Presiden AS. Langkahnya memasuki kancah politik sudah dimulai sejak belasan tahun sebelumnya. Jadi, Obama punya banyak waktu ketika itu. Ini berbeda dengan politisi-politisi kita.
Kedua, sistem politik yang mapan. AS bagaimanapun adalah bangsa yang sudah belajar berdemokrasi sejak 300 tahun lalu. Ujian paling pahit terhadap demokrasi AS sudah pernah dihadapi, mulai dari Perang Sipil era Presiden Abraham Lincoln, hingga perjuangan penghapusan Politik Segregasi era Martin Luther King. Tak heran jika sistem politik AS sangat teruji. Demokrasi Amerika lebih banyak berdasarkan pada isu. Ini berbeda dengan demokrasi Indonesia yang masih ditentukan oleh faktor personal. Sesudah era Orde Baru, berbagai tipe pemimpin maju ke muka. Mulai dari pemimpin-pemimpin birokratis, intelektual, tetapi rakyat masih condong untuk memilih sosok kharismatik seperti Megawati dan Gus Dur. Jadi, yang dipilih rakyat Indonesia adalah faktor personalnya, bukan isu dan solusi yang ditawarkan oleh tokoh itu. AS memilih Barack Obama dengan pertaruhan besar: Obama adalah presiden Afro Amerika pertama. Ia mengubah sejarah dan lansekap politik AS yang selama ini dikuasai kulit putih dengan mapan. Tapi, bukan faktor itu saja yang menyebabkan Obama terpilih. Obama mampu menawarkan skenario yang jelas untuk membawa AS keluar dari krisis. Kaderisasi partai juga berjalan dengan baik di Amerika. Ini berbeda di Indonesia di mana hasil survei Lead Institute malah memperlihatkan, rakyat berkurang kepercayaannya terhadap pemimpin atau kandidat pemimpin dari parpol, dan memilih calon-calon independen karena diyakini lebih ‘tidak punya kepentingan’.
Ketiga, faktor situasi yang kondusif. Ini terkait dengan momentum ketika hajat politik besar, seperti Pemilu, dilangsungkan. Momentum berperan penting dalam terpilihnya seseorang sebagai pemimpin bangsa. Amien Rais sebenarnya mendapatkan momentum untuk memimpin bangsa pada tahun 1998. Semua tokoh politik, termasuk wakil presiden Habibie, mempersilakan. Sayang, Amien Rais telah membuat deal dengan pihak lain, dan ia harus memenuhi janjinya terhadap deal itu, sehingga momentum Reformasi terpaksa dilepaskan. Maka, hilanglah momentum bagi Amien Rais. Ketika sekarang Amien Rais mencoba berkiprah kembali, momentumnya sudah hilang. Momentum SBY tercipta ketika ia ‘dibuang’ oleh Megawati, sehingga memosisikannya sebagai korban penguasa. Momentum Obama dibentuk oleh keterpurukan AS, krisis dunia, dan kemuakan terhadap gaya berpolitik Bush, terutama dalam krisis Irak dan Teluk. Tidak ada rumus bagi momentum: bagaimana menciptakannya, kapan tercipta, dan siapa yang berhak mendapatkannya. Ini adalah semacam ‘hadiah’ atau ‘berkah’ pada masanya, yang kalau tidak diambil, tidak akan bisa ‘ditagih’ kembali di lain waktu.
Keempat, networking. Seorang pemimpin, untuk maju ke depan, tidak bisa berjuang sendiri. Struktur masyarakat modern saat ini sudah sedemikian kompleks, demikian juga benturan kepentingan yang dihadapi. Networking mutlak perlu untuk mendapatkan jaminan atas kedudukan politik, atau bahkan kekuasaan. Ini sah-sah saja, sepanjang ditujukan untuk kepentingan umum dan keadilan. Belajar dari Obama, dan proses pencalonannya mulai dari Konvensi Partai Demokrat (di mana ia harus bersaing dengan Hillary Clinton) hingga Pemilu itu sendiri (Obama harus bersaing dengan kandidat Partai Republik, yaitu McCain dan Sarah Palin), terlihat bahwa Obama pandai bernegosiasi dan menjalin networking. Keahlian inilah yang juga harus dimiliki oleh pemimpin Indonesia di masa depan.
Kembali pada pertanyaan awal, mampukah Indonesia melahirkan pemimpin sekualitas Obama, dengan berpijak pada keempat ‘modal’ dasar berpolitik tadi? Dari berbagai pertanyaan yang diajukan dalam sesi diskusi yang berlangsung dalam dua termin, Dr. Bima Arya Sugiarto menjawab, BISA. Kita, sebagai bangsa Indonesia, punya banyak alasan untuk merasa optimis. Dalam jangka waktu 10 tahun sejak Reformasi digulirkan, Indonesia berhasil berubah total menjadi negara demokratis yang mampu menyelenggarakan sistem pemilu langsung dalam suasana yang relatif aman dan damai (konflik dalam pilkada skalanya terhitung kecil, dan semua bisa diatasi dengan pendekatan keamanan). Padahal, politik kita sungguh tidak sederhana—lebih dari 30 parpol bersaing dalam pemilu. Bandingkan dengan AS yang cuma dikuasai oleh 2 parpol saja. Dan jangan lupa, AS, betapapun hebatnya negara ini, butuh waktu ratusan tahun untuk mencapai demokrasi seperti kita (walaupun, terus-terang, demokrasi Indonesia juga bukan murni dari Indonesia melainkan mengadopsi dari berbagai sistem demokrasi lain). Masalahnya tinggal bagaimana kita bisa memperbaiki sistem, dan menciptakan kondisi yang dapat membenihkan bibit-bibit pemimpin muda yang berkualitas—bukan sekadar politisi dadakan yang tiba-tiba muncul lewat spanduk-spanduk hanya beberapa bulan menjelang Pemilu.
Santi Indra Astuti.
Minggu, 21 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar